Calon presiden (Capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto menggelar acara Silaturahmi Kebangsaan dengan 1.600 muslimat NU Jawa Timur dan para relawan di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Bogor, Sabtu, (2/3/2024). (Dok. Istimewa)Wacana penambahan jumlah kementerian menjadi 40 pos mencuat usai pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Rama memenangkan kontestasi Pilpres 2024. Kabar ini dibenarkan Gerindra, partai penyokong utama pasangan nomor dua. Isu ini pun telah menimbulkan beragam reaksi dari berbagai kalangan, baik dari pihak yang pro maupun kontra.
Pengamat Politik Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Vishnu Juwono menilai, rencana penambahan kementerian ini akan menjadi prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran. Kursi menteri yang diisi kader parpol disebut sebagai bentuk akomodasi politik dibanding fungsi keahlian dalam memilih kabinet.
Namun begitu menurutnya, penambahan kementerian atau lembaga ini akan menyalahi aturan yang ada. Kabinet yang gemuk akan membuat kinerja pemerintahan tidak efektif.
“Karena kan kalau mengacu pada UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 maksimum 34. Salah satu misi pembuatan undang undang itu kan tidak terlalu banyak karena dianggap nantinya menekankan segi politik, ya akan ada banyak inefficiency. Sepertinya memang pemerintahan Pak Prabowo mengutamakan akomodasi politik,” terang dia kepada Liputan6.com, Rabu (8/5/2024).
Dia memaparkan, jika mengaca pada negara maju seperti Amerika Serikat, jumlah menterinya terbilang ramping. Jumlahnya yang hanya 15 orang itu disebutnya dapat berjalan secara efektif.
“Kalau kita mengacu pada negara maju misalnya di Amerika Serikat, jumlah secretary-secretary, setingkat menteri, itu hanya 15 orang. Yang hanya setingkat menteri itu totalnya 25, termasuk wakil presiden. Ini kan negara maju dengan kompleksitas masalah yang sebenarnya mirip-mirip Indonesia, bahkan bentuknya lebih dari Indonesia, tetapi jumlah kabinetnya bisa efisien,” ujar dia.
Bila dilihat dari sisi konstitusi, ia menambahkan, Indonesia memegang sistem parlementer. Namun dalam praktiknya, menggunakan sistem presidential semi parlementer.
“Kita kan sebenarnya presidential semi parlementer. Walaupun di konstitusi kita presidential, tapi fakta ada akomodasi beberapa partai politik di kabinet itu menunjukkan ada unsur parlemen juga. Kalau kita mau mengacu pada parlementer murni, di Inggris misalnya. Kalau saya baca di inggris, ya jabatannya yang manajerial yang mengepalai semua departemen itu 24 pejabat. Ini menunjukkan bahwa di negara maju pun yang menganut sistem parlementer kabinetnya cukup baik,” ujar dia.
Ia pun mengungkapkan sisi positif dan negatif jika kabinet Prabowo-Gibran bertambah jadi 40 kementerian. Menurutnya, kelebihan dari kebijakan tersebut ialah sebagai bentuk akomodasi politik dan respresentasi parpol yang mayoritas ada di kabinet.
“Stabilitas politik akan terjaga sebab semakin besar koalisi, kondisi politik terutama di DPR (terjaga). Semua kebijakan kemungkinan besar akan lolos,” ujar dia.
Sementara sisi minusnya, akan memungkinkan terjadinya overlapping dalam tugas kementerian. Dia mengatakan, akan ada persaingan pengaruh pada kebijakan yang orientasi pada elite ketimbang rakyat banyak.
“Yang perlu diperhitungkan oleh Pak Prabowo, mumpung masih ada waktu sampai 20 Oktober, beliau kan suka berkunjung ke luar negeri, sebagai presiden terpilih beliau bisa pelajari, bagaiamana negara maju komposisinya seperti apa, motivasinya seperti apa. Supaya begitu langsung kabinet, setidaknya memiliki kabinet yang kohesif, karyanya mumpuni, kompetensinya tinggi, yang penting team worknya berjalan,” terang Vishnu.
Menurut dia, tidak ada korelasi antara penambahan kabinet dengan peningkatan layanan publik. Karena bisa jadi penambahan kabinet bakal mengganggu pelayanan publik.
“Misalnya ada kementerian yang dipecah, hal yang simple pembuatan kop surat, kemudian pemindahan personel, nomenklatur struktural organisasi (berubah). Kadang bisa membutuhkan satu tahun bahkan lebih, sehingga pelayanan malah terganggu,” ujar dia.
Adapun menurut Pengamat politik Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, wacana komposisi hingga 40 pos yang disusun oleh Presiden terpilih terlalu berlebihan. Ini tentunya akan membuat gerak pemerintah makin lambat mengingat alur birokrasi kian panjang.
“Komposisi semacam ini cenderung mengakomodasi kepentingan politik dibanding soal laju pembangunan. Akan jauh lebih baik dan diperlukan jika pemerintah lakukan restrukturisasi kementerian di tingkat daerah, saat ini tidak semua kementerian miliki garis struktur yang lengkap hingga ke daerah,” ujar dia kepada Rabu (8/5/2024).
Menurut dia, banyaknya pos yang dibentuk Presiden akan menjadi ajang pembagian kekuasaan tim sukses di Pilpres dan juga Partai pengusung. Selain menghabiskan banyak anggaran, juga akan terancam minim kerja.
“Justru, Prabowo seharusnya menghapus banyak pos kementerian dan badan yang tidak diperlukan, misalnya saja menghapus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, termasuk menghapus Menko PMK. Lalu menghapus badan semisal Badan Siber, Ristek dilepas dari Kemendibud dan melebur ke BRIN,” ujar dia.
Dalam situasi saat ini, dia menilai, Menteri Desa dan Transmigrasi pun sudah layak dihapus. Kegiatan transmigrasi dan kesejahteraan Desa menjadi tanggung jawab banyak kementerian semisal Kemendagri dan Kemensos.
“Begitu halnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup dapat dilebur menjadi satu dengan Kementerian Pertanian,” ujar dia.
Dedi menuturkan, menteri hanya bertugas lakukan koordinasi, bukan event organizer. Sehingga tidak terbatas wilayah jangkauannya, karena hanya fokus pada tata kelola administratif.
Menurutnya, rencana itu bakal mudah dilakukan mengingat undang-undang yang mengatur hal tersebut dapat saja diubah. Perubahan undang-undang sudah pernah terjadi dalam memuluskan langkah Gibran sebagai calon wakil presiden.
“UU dengan mudah diubah, jika Gibran dengan mudah masuk kontestasi di Pilpres dengan mengubah UU, tentu akan mudah juga untuk memenuhi keinginan Prabowo-Gibran membuat keputusan anggota kabinet lebih dari 34. Soal reputasi kebijakan, pemerintah sudah banyak dinilai negatif, tetapi kesan negatif itu tidak membuat pemerintah mengevaluasi,” Dedi menandaskan.